Pada tanggal 9 April 2025, Tiongkok telah mengumumkan penerapan tarif tambahan sebesar 84% terhadap barang-barang impor dari Amerika Serikat.
Kebijakan ini menandai eskalasi baru dalam ketegangan perdagangan antara dua ekonomi terbesar di dunia, yang telah berlangsung selama beberapa tahun dengan berbagai putaran tarif dan negosiasi yang tegang.
![]() |
Presiden Tiongkok Xi Jinping |
Untuk memahami berita ini secara mendalam, mari kita bahas penyebabnya serta dampaknya terhadap dolar AS (USD), pasar forex, saham, dan kripto secara terperinci.
Tanggapan Scott Bessent, Menteri Keuangan AS
"Mereka dapat menaikkan tarif, tetapi apa gunanya?"
Dengan nilai impor Tiongkok dari AS sekitar $165 miliar per tahun, kenaikan tarif sebesar 84% akan meningkatkan biaya barang-barang tersebut secara drastis.
Misalnya, jika tarif diterapkan secara menyeluruh, biaya tambahan bisa mencapai lebih dari $138 miliar, asumsi sederhana tanpa mempertimbangkan penyesuaian pasar seperti penurunan volume perdagangan atau perubahan rantai pasok.
Ini bisa memengaruhi harga barang di Tiongkok, mengurangi daya saing produk AS di pasar Tiongkok, dan berpotensi memicu respons balasan dari AS.
Bessent mungkin juga mengisyaratkan bahwa Tiongkok bergantung pada impor tertentu dari AS—like teknologi, pertanian, atau material khusus yang sulit digantikan dalam waktu singkat.
Jadi, meskipun tarif meningkat, Tiongkok tetap harus membayar lebih untuk barang yang mereka butuhkan, sehingga manfaatnya dipertanyakan. Di sisi lain, AS bisa merespons dengan diversifikasi pasar ekspor atau kebijakan proteksionis lebih lanjut, yang memperumit dinamika perdagangan bilateral.
U.S. Treasury Secretary Scott Bessent commented on China's decision to increase tariffs on U.S. exports to 84%, saying:
— Ian Miles Cheong (@stillgray) April 9, 2025
"They can raise their tariffs but so what?"
For reference, China annually imports approximately $165 billion in goods from the United States. pic.twitter.com/v8MTy5NULG
Penyebab Tarif Tambahan Tiongkok
Kebijakan tarif ini kemungkinan besar merupakan respons balasan dari Tiongkok terhadap langkah perdagangan agresif AS di bawah pemerintahan Presiden Donald Trump, yang baru-baru ini mengumumkan tarif 104% terhadap produk Tiongkok mulai 9 April 2025, seperti yang disampaikan juru bicara Gedung Putih, Karoline Leavitt. Beberapa faktor utama yang mendorong keputusan Tiongkok meliputi:
Tarif AS Sebelumnya: AS telah memberlakukan tarif signifikan terhadap berbagai produk Tiongkok, termasuk teknologi, kendaraan, dan barang konsumsi, dengan dalih melindungi industri dalam negeri dan mengurangi defisit perdagangan yang mencapai ratusan miliar dolar setiap tahunnya.
Tarif 104% ini menjadi puncak dari kebijakan proteksionis AS, yang memicu reaksi keras dari Beijing.
Ketidakseimbangan Perdagangan: Tiongkok menghadapi tekanan dari AS untuk menyeimbangkan neraca perdagangan. Namun, alih-alih berkompromi,
Tiongkok memilih strategi pembalasan untuk menunjukkan bahwa mereka tidak akan tunduk pada tekanan unilateral.
Persaingan Geopolitik: Di luar ekonomi, ada dimensi geopolitik yang kuat. Tiongkok ingin menegaskan posisinya sebagai kekuatan global yang setara dengan AS, dan tarif ini menjadi alat untuk menekan AS serta menggalang dukungan dari negara-negara lain yang juga terkena dampak kebijakan perdagangan AS.
Tekanan Domestik: Pemerintah Tiongkok juga menghadapi kebutuhan untuk melindungi industri lokal dan menjaga stabilitas ekonomi di tengah perlambatan pertumbuhan.
Tarif ini dapat dilihat sebagai upaya untuk mengalihkan dampak negatif dari kebijakan AS kepada eksportir Amerika.
Dampak pada USD (Dolar AS)
Dolar AS sebagai mata uang cadangan dunia sangat sensitif terhadap ketegangan perdagangan global. Dampak dari tarif Tiongkok ini terhadap USD dapat diuraikan sebagai berikut:
Penguatan Jangka Pendek: Dalam situasi ketidakpastian global, investor cenderung beralih ke aset safe haven, dan USD sering dianggap sebagai salah satunya.
Pengumuman tarif ini dapat mendorong permintaan terhadap dolar, terutama jika pasar saham global terguncang, sehingga nilai USD terhadap mata uang lain seperti euro atau yen Jepang bisa menguat dalam jangka pendek.
Tekanan Jangka Panjang: Namun, jika perang dagang berkepanjangan, ekonomi AS bisa menderita karena kenaikan biaya impor dari Tiongkok, yang merupakan pemasok utama barang konsumsi murah.
Ini dapat memicu inflasi di AS, memaksa Federal Reserve untuk menaikkan suku bunga lebih agresif, yang pada akhirnya bisa melemahkan USD jika pertumbuhan ekonomi melambat.
Dampak pada Pasar Forex
Pasar forex, yang mencerminkan nilai tukar antar mata uang, akan mengalami volatilitas tinggi akibat berita ini:
Pasangan USD/CNY: Yuan Tiongkok (CNY) kemungkinan akan melemah terhadap USD karena tarif ini dapat memperburuk prospek ekonomi Tiongkok, terutama sektor ekspornya (bulish untuk USD)
Pemerintah Tiongkok mungkin membiarkan yuan terdepresiasi untuk menjaga daya saing ekspor, meskipun intervensi pasar juga bisa dilakukan untuk mencegah penurunan tajam.
Mata Uang Komoditas: Mata uang negara-negara yang bergantung pada ekspor komoditas ke Tiongkok, seperti dolar Australia (AUD), bisa tertekan.
Tiongkok adalah importir besar bijih besi dan bahan baku lainnya, dan perlambatan ekonomi akibat perang dagang dapat mengurangi permintaan, melemahkan AUD terhadap USD.
Volatilitas Global: Pasangan mata uang utama seperti EUR/USD atau USD/JPY juga akan mengalami fluktuasi besar karena investor menilai dampak perang dagang terhadap ekonomi global. Yen Jepang (JPY), sebagai safe haven lainnya, mungkin menguat terhadap USD jika sentimen risk-off mendominasi (Bullish untuk JPY)
Dampak pada Pasar Saham
Pasar saham global sangat rentan terhadap eskalasi perang dagang, dan pengumuman tarif ini tidak terkecuali:
Penurunan di AS: Indeks saham utama AS seperti S&P 500 dan Nasdaq kemungkinan akan turun tajam karena perusahaan-perusahaan besar, terutama di sektor teknologi (Apple, Nvidia) dan ritel (Walmart), bergantung pada rantai pasok Tiongkok. Kenaikan biaya impor akan memangkas margin keuntungan dan memicu aksi jual.
Pasar Tiongkok: Bursa saham Tiongkok, seperti Shanghai Composite, juga akan terpukul karena eksportir menghadapi tekanan dari tarif AS sebelumnya, ditambah dampak domestik dari kebijakan pembalasan ini.
Efek Domino Global: Bursa saham di Eropa, Jepang, dan negara-negara Asia lainnya akan merasakan efek riak karena ketergantungan mereka pada perdagangan global. Ketidakpastian ini dapat memicu penarikan modal dari pasar emerging markets, termasuk Indonesia.
Dampak pada Pasar Kripto
Pasar kripto, meskipun sering dianggap terpisah dari ekonomi tradisional, tidak kebal terhadap gejolak geopolitik dan ekonomi makro:
Volatilitas Awal: Bitcoin (BTC) dan Ethereum (ETH) mungkin mengalami penurunan awal lebih dari 3% sebagai respons terhadap sentimen risk-off di pasar global. Investor cenderung menjual aset berisiko seperti kripto untuk beralih ke safe haven seperti emas atau USD.
Potensi Pemulihan: Di sisi lain, jika perang dagang memperburuk kepercayaan terhadap sistem keuangan tradisional, Bitcoin bisa mendapatkan daya tarik sebagai "emas digital." Lonjakan minat terhadap aset desentralisasi ini bisa mendorong kenaikan harga dalam jangka menengah, terutama jika investor institusional mulai masuk.
Altcoin dan Sentimen: Altcoin dengan kapitalisasi pasar lebih kecil mungkin lebih terpukul karena likuiditas rendah dan ketergantungan pada sentimen pasar yang positif.
Namun, aset seperti stablecoin (USDT, USDC) bisa melihat peningkatan penggunaan sebagai alat lindung nilai terhadap volatilitas mata uang fiat.
Kesimpulan
Pengumuman tarif tambahan 84% oleh Tiongkok terhadap barang-barang AS pada 9 April 2025 adalah langkah besar dalam perang dagang yang sedang berlangsung, didorong oleh kebijakan proteksionis AS dan ambisi geopolitik Tiongkok.
Dampaknya terhadap USD akan bercampur antara penguatan jangka pendek dan risiko pelemahan jangka panjang, sementara pasar forex akan menghadapi volatilitas tinggi, terutama pada pasangan mata uang terkait Tiongkok dan komoditas.
Pasar saham global diperkirakan akan anjlok karena ketidakpastian, dan kripto akan mengalami fluktuasi awal sebelum berpotensi rebound jika narasi safe haven menguat. Situasi ini masih berkembang, dan reaksi pasar akan sangat bergantung pada langkah selanjutnya dari kedua negara serta respons global.